Turis Ramai, tetapi Okupansi Hotel Di Bali Justru Turun

KabarKabari,- Jelang musim libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026, industri pariwisata di Bali menghadapi fenomena yang cukup unik. Meski jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Dewata terlihat meningkat, tingkat hunian hotel dan penginapan justru menunjukkan tren penurunan. Situasi ini dianggap paradoks oleh pelaku usaha pariwisata karena kondisi “ramainya turis” tidak berbanding lurus dengan okupansi akomodasi resmi di pulau ini.

Peningkatan Jumlah Wisatawan, Okupansi Hotel Turun

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau yang akrab disapa Cok Ace, mengatakan bahwa kunjungan wisatawan ke Bali sepanjang 2025 menunjukkan peningkatan signifikan sekitar 10 persen dibanding periode sebelumnya. Namun, data PHRI mencatat tren yang berlawanan terjadi pada okupansi hotel dan penginapan yang tergabung dalam organisasi tersebut.

Berdasarkan data yang disampaikan Cok Ace, tingkat hunian hotel resmi justru turun dari 66 persen menjadi 58 persen menjelang Nataru kali ini. Penurunan tersebut dinilai tidak sepele, meski dari angka persentase terlihat tidak terlalu besar, namun cukup memengaruhi pendapatan pelaku usaha perhotelan serta kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penyebab Turunnya Okupansi Hotel

Dalam pandangan PHRI Bali, ada beberapa faktor yang memicu kejadian paradoks ini:

1. Akomodasi Liar dan Penyewaan Tanpa Izin

Salah satu faktor utama yang disebutkan oleh Cok Ace adalah maraknya akomodasi liar di Bali. Banyak wisatawan, khususnya orang asing, yang memilih untuk mengontrak rumah atau vila pribadi selama berada di Bali. Namun banyak dari properti tersebut kemudian disewakan kembali melalui platform daring, meskipun tidak terdaftar sebagai penginapan resmi. Praktik ini membuat wisatawan tidak tercatat dalam statistik okupansi hotel resmi dan mengalihkan konsumsi dari sektor legal ke pasar informal.

Kondisi serupa juga dipaparkan dalam laporan sebelumnya bahwa banyak penginapan ilegal atau tidak berizin beroperasi di Bali, sementara hanya sebagian kecil yang terdaftar resmi di PHRI. Tercatat ada ribuan akomodasi yang belum terdata dalam asosiasi, sehingga mempersulit pengawasan dan perhitungan okupansi yang akurat.

2. Dampak Bencana Alam dan Cuaca Ekstrem

Selain itu, Cok Ace menyebut bahwa beberapa bencana alam dan cuaca ekstrem akhir-akhir ini di beberapa wilayah Bali menjadi salah satu alasan wisatawan membatalkan kunjungan atau memilih rute perjalanan lain. Walaupun bukan penyebab utama, faktor ini turut memberikan tekanan tambahan bagi bisnis pariwisata di pulau tersebut.

3. Kecenderungan Ekonomi Global

Lebih jauh lagi, Cok Ace menilai latar global juga turut memengaruhi perilaku wisatawan. Situasi ekonomi global yang cenderung melemah membuat daya beli wisatawan—terutama kunjungan wisatawan nusantara lebih berhati-hati dalam pengeluaran, termasuk memilih jenis akomodasi yang lebih murah atau alternatif penginapan yang tidak masuk hitungan statistik resmi.

Dinamika Okupansi Beragam di Setiap Wilayah

Ketua PHRI Tabanan, I Nyoman Sugiarta, menambahkan bahwa berdasarkan kondisi di wilayahnya, sejauh ini okupansi di Tabanan belum menunjukkan kenaikan signifikan meskipun jumlah turis meningkat. Menurutnya, tren wisatawan yang datang ke Tabanan masih terbagi berdasarkan preferensi destinasi tertentu:

  • Wisatawan yang mencari suasana alam dan sejuk cenderung memilih daerah Tabanan Utara.
  • Sementara wisatawan yang mencari hiburan modern dan pusat keramaian lebih banyak berada di wilayah selatan Bali.

Namun demikian, ia tetap optimistis bahwa menjelang puncak libur Nataru, tingkat reservasi hotel akan meningkat, terutama oleh wisatawan lokal Nusantara, meskipun tren ini terjadi sedikit lebih lambat dibanding jumlah kunjungan secara umum.

Proyeksi Puncak Libur Nataru dan Harapan Pemulihan

Faktor lain yang perlu diketahui adalah bahwa puncak kunjungan wisatawan Bali diperkirakan terjadi setelah 20 Desember 2025, karena itu gelombang wisatawan baru diprediksi akan berdatangan terutama untuk momen Natal dan Tahun Baru. PHRI Badung bahkan memperkirakan tingkat hunian hotel akan mengalami lonjakan signifikan hingga mencapai sekitar 78 persen saat Natal dan hampir 97 persen pada Tahun Baru 2026.

Frekuensi penerbangan tambahan ke Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai juga menunjukkan lonjakan aktivitas transportasi ke Bali. Pihak bandara mencatat adanya ratusan penerbangan tambahan yang diajukan oleh maskapai menuju dan dari Bali dalam periode akhir Desember hingga awal Januari, dengan estimasi lebih dari 1,5 juta pergerakan penumpang selama musim Nataru.

Hal ini menunjukkan bahwa tren kunjungan wisatawan ke Bali tetap kuat, meskipun distribusi penginapan dan pola perilaku wisatawan mungkin berubah dibanding masa pra-pandemi atau liburan sebelumnya.

Dampak terhadap Pemerintah dan Pelaku Usaha Pariwisata

Fenomena turis ramai tetapi hotel sepi ini berdampak lebih jauh daripada sekadar penurunan angka okupansi. Menurut ketua PHRI Bali, fakta bahwa banyak wisatawan memilih akomodasi di luar jaringan resmi juga berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pasalnya, transaksi pada akomodasi resmi seperti hotel berbintang, guest house formal, dan vila terdaftar memiliki kontribusi pajak yang signifikan. Ketika wisatawan memilih akomodasi informal, kontribusi pajak yang seharusnya masuk ke daerah menjadi tidak optimal.

Keadaan ini mengundang pemerintah provinsi dan legislatif untuk mengevaluasi ulang strategi pengawasan akomodasi serta upaya untuk mengatur dan menertibkan penginapan ilegal yang beroperasi di luar jalur resmi. Isu serupa terkait dampak akomodasi liar juga telah menjadi sorotan dalam diskusi panjang industri pariwisata Bali, karena hal ini tidak hanya memengaruhi okupansi hotel, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat terhadap pelaku usaha terdaftar.

Tantangan dan Peluang Bali pada Libur Nataru

Fenomena paradoks turis ramai tetapi hotel sepi di Bali menjelang libur Nataru 2025/2026 mencerminkan kompleksitas dinamika sektor pariwisata di pulau ini. Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang tidak otomatis memberi dampak positif bagi seluruh sektor, terutama akomodasi resmi di bawah PHRI. Perubahan preferensi wisatawan, pertumbuhan akomodasi informal, dan faktor ekonomi global menjadi bagian dari narasi besar yang sedang dihadapi.

Namun di balik tantangan tersebut, terdapat peluang bagi Bali untuk mengoptimalisasi daya tariknya sebagai destinasi wisata utama, baik melalui penguatan regulasi akomodasi, peningkatan kualitas layanan, hingga pemanfaatan puncak liburan yang diprediksi akan terjadi setelah 20 Desember 2025. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, asosiasi pariwisata, dan pelaku usaha, Bali diharapkan dapat mengubah anomali ini menjadi momentum pemulihan yang lebih merata di seluruh sektor pariwisata.

More From Author

Pembunuhan Mahasiswi UMM: Polisi Tangkap Tersangka Lain yang Sempat Buron

Vin Diesel Siapkan Peran untuk Cristiano Ronaldo di ‘Fast & Furious’ Terakhir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *