
KabarKabari,- Krisis ekologis yang menerpa pulau Sumatra — khususnya bencana banjir dan tanah longsor di provinsi seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat — memantik gelombang kritik terhadap kebijakan kehutanan pusat. Dalam rapat kerja Komisi IV DPR RI bersama Raja Juli Antoni selaku Kementerian Kehutanan (Kemenhut), anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Usman Husin, secara terbuka mendesak sang menteri untuk mundur jika dianggap tak mampu menangani persoalan kehutanan.
Tuntutan ini bukan sekadar retorika — melainkan refleksi dari kekecewaan publik dan parlemen terhadap kebijakan lingkungan yang dinilai bersifat inkonsisten dan kurang bijaksana, terutama di tengah krisis lingkungan yang berdampak luas pada keselamatan dan kehidupan masyarakat.
Tudingan Kegagalan & Inkonsistensi Kebijakan
Dalam rapat kerja di Gedung DPR, Senayan pada Kamis (4/12/2025), Usman Husin melontarkan kritik pedas: menurutnya, Raja Juli “tidak paham soal kehutanan”.
Dia menekankan bahwa persoalan kerusakan hutan — yang diduga memperparah risiko banjir dan longsor — adalah tanggung jawab pejabat yang sedang berkuasa, bukan pemerintahan sebelumnya. Menurut Usman, upaya penyelesaian tak bisa hanya dengan menyalahkan masa lalu.
Sorotan tajam juga tertuju pada kebijakan pemberian izin pelepasan kawasan hutan di Pulau Sumatra. Usman meminta agar semua izin semacam itu dihentikan total. Ia mempertanyakan: “Berapa tahun dibutuhkan untuk menanam ulang hutan yang sudah habis?” — dengan menegaskan bahwa pohon‑pohon besar tidak bisa tumbuh dalam waktu singkat.
Lebih konkret, ia menyinggung kasus di wilayah Tapanuli Selatan — di mana meskipun pemerintah daerah setempat sudah meminta agar izin dihentikan, pada 30 November 2025 izin tetap dikeluarkan oleh Kemenhut. Hal ini bagi Usman mencerminkan ketidakkonsistenan antara pernyataan dan kebijakan nyata.
Menurut pandangannya, hal ini menunjukkan bahwa arah kebijakan kehutanan saat ini “tidak sejalan” dengan kebutuhan mitigasi bencana dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Karena itu, Usman dengan tegas menyatakan jika menteri tak mampu menjalankan tugasnya, maka “mundur saja”.
Sikap Menteri: Evaluasi, Klarifikasi dan Tanggapan atas Desakan
Menanggapi kritik dan desakan mundur tersebut, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengaku menerima dengan terbuka. Ia menyatakan bahwa bencana di Sumatera adalah peringatan keras bagi dirinya serta Kemenhut untuk mengevaluasi pengelolaan hutan secara menyeluruh.
Menurut dia, dalam masa jabatannya ia tidak pernah menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan baru — melainkan fokus pada perizinan jasa lingkungan dan restorasi ekosistem.
Raja Juli juga menyebut bahwa kebijakan dan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan menjadi prioritas. Ia memastikan akan mengejar dan menindak tegas siapa pun yang terbukti merusak hutan — termasuk dalam kasus kayu gelondongan yang muncul pasca-banjir di Sumatra.
Meski demikian, soal apakah dia akan mundur — menurutnya — tergantung prerogatif Presiden Prabowo Subianto. “Tanggung jawab saya hanya bekerja semaksimal mungkin… selanjutnya itu hak prerogatif Bapak Presiden,” ujar Raja Juli.
Mengapa Banjir Sumatera Menjadi Sorotan Kebijakan Kehutanan
Krisis bencana di Sumatra — yang meliputi banjir bandang dan longsor di daerah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat — menunjukkan keterkaitan antara kerusakan lingkungan/hutan dengan kerentanan bencana alam.
Menurut sejumlah pihak, perizinan pelepasan kawasan hutan dan deforestasi — terutama tanpa tata kelola lingkungan yang ketat — memperparah risiko aliran air deras, longsor, dan erosi, sehingga memperburuk dampak hujan lebat dan banjir. Kritik DPR kini mengekspos bahwa kebijakan kehutanan tidak boleh semata soal izin dan ekonomi, tetapi juga harus melihat aspek keberlanjutan dan keselamatan rakyat.
Implikasi Politik & Tuntutan Transparansi
Desakan mundur terhadap Menteri Kehutanan menandakan gesekan tajam antara legislatif dan eksekutif di tengah situasi darurat lingkungan. Bagi DPR, khususnya fraksi yang kritis, ini bukan sekedar soal figur — melainkan soal kredibilitas institusi, kepercayaan publik, dan masa depan pengelolaan hutan di Indonesia.
Kritik ini membuka ruang bagi evaluasi prinsip-prinsip izin, alih fungsi hutan, restorasi ekosistem, serta pengawasan lingkungan. Rakyat dan parlemen menuntut transparansi: kapan hutan bisa direhabilitasi, seberapa cepat reboisasi dilakukan, dan bagaimana pencegahan agar bencana serupa tak terulang.
Bagi Kemenhut, tekanan ini menjadi ujian bagaimana menyeimbangkan kebutuhan pembangunan, ekonomi, dan konservasi lingkungan — tanpa mengorbankan keselamatan masyarakat dan kelestarian alam.
Titik Balik Pengelolaan Hutan dan Tanggung Jawab Pemerintah
Perdebatan antara DPR dan Menteri Kehutanan tak sekadar soal jabatan — melainkan soal arah kebijakan kehutanan di Indonesia di masa depan. Bencana di Sumatra telah menjungkirbalikkan narasi bahwa izin dan pemanfaatan hutan bisa terus berjalan tanpa konsekuensi ekologis.
Desakan mundur terhadap Raja Juli Antoni mencerminkan keresahan publik dan legislatif atas keputusan yang dianggap gegabah dan kontradiktif. Sementara itu, sikap menteri yang menyatakan kesediaan dievaluasi serta janji penegakan hukum terhadap kerusakan hutan bisa menjadi awalan bagi reformasi pengelolaan kawasan hijau.
Namun, pada akhirnya, keberhasilan upaya restorasi dan mitigasi bencana sangat bergantung pada tindakan konkrit — transparansi, regulasi ketat, pemulihan ekosistem, dan pemahaman bahwa kehutanan bukan sekadar bisnis, melainkan urusan nyawa, lingkungan, dan masa depan bangsa.

One thought on “Kritik DPR: Kontroversi di Balik Banjir Besar Sumatra”