Tiga Pengamen Berkostum Pocong di Koja: Warga Ketakutan, Polisi Turun Tangan

KabarKabari,- Tiga pengamen yang mengenakan kostum pocong di kawasan Koja, Jakarta Utara, diamankan oleh Polsek Koja pada Senin malam (24 November 2025), setelah aksi mereka dinilai meresahkan warga setempat.

Pelaku terdiri dari tiga orang berinisial FS (15), RA (11), dan MZA (19). Menurut penuturan pihak kepolisian, keberadaan mereka di malam hari dengan mengenakan kostum pocong membuat warga — terutama perempuan — merasa sangat takut. Satu warga bahkan dilaporkan pingsan karena ketakutan.


Kronologi Penangkapan

Penangkapan berlangsung sekitar pukul 23.30 WIB di Jalan H. Murtado, Kelurahan Tugu Utara, Koja. Setelah menerima laporan dari masyarakat yang resah, petugas dari unit Reskrim Polsek Koja dan Satpol PP melakukan penindakan melalui operasi cipta kondisi.

Setelah diamankan, ketiganya dibawa ke Polsek Koja. Polisi tidak menjerat mereka dengan pidana. Mereka hanya diminta membuat surat pernyataan untuk tidak mengulangi aksi tersebut, kemudian dikembalikan ke orang tua atau keluarga masing-masing. Dalam operasi itu, uang hasil mengamen yang dibawa para remaja juga disita — tercatat senilai Rp 95.500.

Kanit Reskrim Polsek Koja, AKP Fernando, menyatakan bahwa tindakan ini semata-mata dilakukan agar situasi malam di kawasan Koja tetap aman dan tidak menimbulkan keresahan publik.


Dampak Psikologis di Warga: Panik dan Trauma

Aksi pengamen berkostum pocong di malam hari ternyata berdampak nyata pada warga. Seorang ibu-ibu dikabarkan pingsan karena ketakutan saat melihat sosok seperti pocong berjalan di jalanan gelap.

Pihak polisi menekankan bahwa aksi seperti ini bisa memicu kepanikan massal, trauma, dan bahkan berpotensi menyebabkan gangguan sosial, terutama bila melibatkan anak-anak (seperti kasus ini).

Fenomena ‘pocong jalanan’ atau ‘street horror’ ini — meskipun mungkin bermaksud untuk mengamen atau mencari perhatian — mendapat kecaman dari masyarakat luas karena risiko psikologis dan keamanan yang ditimbulkannya, terutama jika dilakukan di lingkungan pemukiman padat dan di malam hari.


Respons Aparat: Pembinaan dan Upaya Preventif

Alih-alih langsung menahan secara pidana, Polsek Koja memilih membuat surat pernyataan sebagai sanksi administrasi dan peringatan. Ketiganya dikembalikan ke keluarga setelah dipastikan masih memiliki orang tua dan mengaku bahwa mengamen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Langkah ini menjadi peringatan bagi siapapun bahwa tampil dengan kostum menyeramkan di malam hari—khususnya di kawasan padat penduduk—bukan hanya soal kreativitas, tapi juga tanggung jawab sosial. Pihak kepolisian menyatakan akan terus melakukan patroli malam dan operasi cipta kondisi untuk menjaga rasa aman di lingkungan.


Analisis: Kreativitas vs Keselamatan Publik

Kasus ini menggambarkan dilema antara kebebasan berekspresi—dalam bentuk seni jalanan atau mengamen—dengan hak warga untuk merasa aman dan nyaman di lingkungan mereka. Kostum pocong, yang secara budaya identik dengan hal mistis atau horor di Indonesia, memang memiliki potensi untuk menarik perhatian. Namun, ketika dilakukan di malam hari dan di area permukiman, efek ketakutan bisa meluas dan berdampak negatif.

Beberapa pelajaran penting dari kasus ini:

  • Kreativitas dalam seni jalanan harus dijalankan dengan mempertimbangkan sensitivitas budaya dan psikologi masyarakat sekitar.
  • Aparat dan masyarakat perlu berkomunikasi: jika ada bentuk seni atau atraksi publik, ada baiknya mendapat persetujuan atau koordinasi agar tidak menimbulkan keresahan.
  • Bagi pelaku — terutama jika masih anak-anak atau remaja — edukasi dan pembinaan sosial penting agar mereka bisa mencari nafkah dengan cara yang lebih aman dan tidak menimbulkan trauma bagi orang lain.

Penertiban tiga pengamen berkostum pocong oleh Polsek Koja adalah langkah antisipatif terhadap potensi keresahan dan ketakutan publik akibat aksi yang tidak biasa di malam hari. Walau tidak diproses pidana, tindakan ini menjadi sinyal bahwa tindakan “iseng” atau kreativitas ekstrem tetap harus dibarengi tanggung jawab sosial dan kesadaran terhadap dampak lingkungan.

Kejadian ini juga mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang majemuk dan beragam seperti di Jakarta, norma sosial, sensitivitas budaya, serta keselamatan psikologis komunitas harus menjadi pertimbangan utama — bahkan dalam hal-hal yang sekilas tampak sepele seperti mengamen jalanan.

More From Author

Banjir dan Longsor Melanda Sibolga dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara

Fenomena Siklon Tropis SENYAR — Siklon Tropis Langka Dekat Khatulistiwa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *