
KabarKabari,- Sejumlah wilayah di Sibolga dan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, dilanda bencana alam — banjir bandang dan tanah longsor — dalam rentang waktu akhir November 2025. Bencana ini menyebabkan kerusakan luas dan korban jiwa.
Menurut data resmi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Utara (BPBD Sumut), hujan deras yang terjadi sejak 17 November memperparah situasi, sehingga mulai Minggu malam sekitar pukul 18.00 WIB banjir mulai terjadi dan terus berlanjut hingga dua hari berikutnya.
Akibatnya, banyak wilayah tidak mampu menampung volume air yang besar — menyebabkan ribuan rumah warga terendam dan memancing longsor di daerah rawan.
Dampak Bencana: Korban, Terdampak, dan Infrastruktur
Korban Jiwa dan Korban Terdampak
- Di Desa Mardame, Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah — longsor menimpa rumah warga, menewaskan empat orang dari satu keluarga: seorang ibu dan tiga anaknya.
- Total, berdasarkan rekapan terbaru oleh pusat data bencana, sebanyak 13 orang dinyatakan meninggal dunia di beberapa kabupaten/kota di Sumut, termasuk korban di Tapanuli Tengah dan Sibolga.
- Di Tapanuli Tengah tercatat sekitar 1.952 kepala keluarga (KK) terdampak bencana — rumah terendam atau terkena longsor.
Kerusakan dan Pemutusan Akses
- Banyak rumah warga terendam banjir; di Tapanuli Tengah tercatat ribuan unit rumah terdampak.
- Jaringan telekomunikasi di kawasan terdampak — terutama di Sibolga dan Tapanuli Tengah — sempat terputus. Hal ini memperlambat proses pelaporan kondisi dan evakuasi.
- Akses jalan juga terganggu di sejumlah titik, menghambat mobilisasi tim penyelamat dan bantuan logistik.
Respons dan Evakuasi Darurat
Pihak BPBD Sumut bersama tim SAR, TNI–Polri, dan relawan telah dikerahkan untuk melakukan penanganan darurat: evakuasi korban, pendataan dampak, serta pendistribusian bantuan dan logistik ke lokasi terdampak.
Namun upaya ini terhambat oleh kondisi cuaca yang masih buruk, dan akses ke sejumlah titik bencana yang cukup sulit karena jalan terputus dan lumpur longsoran.
Faktor Pemicu dan Konteks Cuaca Ekstrem
Para ahli dan pihak berwenang menyebut bahwa penyebab utama bencana ini adalah curah hujan ekstrem yang berlangsung lebih dari dua hari, dimulai sejak 17 November. Hujan deras dengan durasi panjang menyebabkan sungai dan saluran drainase meluap — volume air yang sangat besar akhirnya tidak tertampung dan menyebabkan banjir serta longsor.
Sistem cuaca ekstrem diduga diperparah karena munculnya siklon tropis di wilayah perairan Indonesia yang mempengaruhi pola hujan di Sumatera Utara, menurut laporan pengendalian bencana yang dikutip media.
Kondisi geografis — dengan banyak lereng/perbukitan dan pemukiman yang berada di kawasan rawan longsor — membuat wilayah seperti Sibolga dan Tapanuli Tengah sangat rentan ketika hujan deras terjadi dalam waktu lama.
Tantangan Penanganan dan Upaya Pemulihan
Penanganan darurat menghadapi banyak kendala: gangguan pada jaringan komunikasi, akses jalan yang rusak, serta cuaca yang belum kondusif, membuat pendataan dan evakuasi sulit dilakukan secara cepat.
Pemerintah setempat — melalui BPBD dan instansi terkait — telah mendirikan pos pengungsian dan mulai mendistribusikan bantuan sembako bagi warga korban banjir dan longsor. Namun jumlah kebutuhan sangat besar, mengingat hampir 2.000 KK terdampak di Tapanuli Tengah saja.
Selain itu, perlu segera dilakukan rehabilitasi infrastruktur — perbaikan jalan, saluran air, dan fasilitas dasar — agar masyarakat bisa kembali ke kehidupan normal.
Upaya mitigasi jangka panjang juga penting: identifikasi daerah rawan longsor/banjir, penataan zona pemukiman, serta pembangunan sistem drainase dan peringatan dini.
Implikasi Sosial dan Peringatan bagi Warga
Bencana ini menunjukkan betapa cepat dan dahsyat dampak cuaca ekstrem terhadap kehidupan masyarakat — terutama bagi mereka yang tinggal di daerah rawan banjir dan longsor. Kehilangan rumah, harta, bahkan anggota keluarga, mengguncang kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Warga terdampak tidak hanya kehilangan hunian, tetapi juga sumber penghidupan, akses transportasi, komunikasi, serta fasilitas dasar — semuanya porak-poranda dalam waktu singkat.
Kasus ini juga menjadi pengingat bagi pemerintah daerah dan warga untuk memperkuat sistem mitigasi bencana — memperhatikan peringatan cuaca, tidak membangun atau menetap di zona rawan, serta meningkatkan kesiapsiagaan komunitas.
Bencana banjir dan longsor di Sibolga dan Tapanuli Tengah pada akhir November 2025 bukan sekadar ujian alam — tapi juga ujian kemanusiaan dan sistem mitigasi kita. Penanganan yang cepat dan terkoordinasi, bantuan bagi korban, serta langkah strategis jangka panjang sangat penting agar tragedi serupa tidak terus berulang.
